Sunarti menjemur nasi basi (Dok: Sindo TV/Mukhtar Bagus)
JOMBANG - Kekeringan akibat kemarau panjang
memaksa warga di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, bertahan hidup dengan
mengonsumsi nasi aking (nasi bekas) dan nasi jagung.
Warga biasanya mengandalkan penghasilan dari buruh tani, namun sejak kemarau, mereka menganggur karena sawah tidak ditanami padi.
Salah seorang warga yang terpaksa mengonsumsi nasi aking ialah Sunarti (53), warga Kelurahan Kaliwungu, Kecamatan Kota Jombang. Dia mengaku sudah tiga bulan terakhir memakan nasi aking. Setiap pagi, dia menjemur nasi bekas atau nasi basi.
Setelah kering, nasi sisa tersebut akan dimasak lagi oleh Sunarti dan dicampur dengan nasi jagung untuk dimakan bersama suaminya, Joko (59). Joko sendiri hanya terbaring di tempat tidur karena sakit. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sunartilah yang berperan.
Selama kemarau, Sunarti bekerja sebagai tukang cuci atau bersih-bersih di rumah tetangga. Bila ada nasi di rumah tempat bekerjanya yang lebih, Sunarti membawanya, tentu atas seizing majikan. Nasi itulah yang dia olah kembali menjadi aking.
Sunarti mengaku tidak punya pilihan lain selain memakan aking. Harga beras Rp6.000 atau Rp7.500 per kilogram, terlalu mahal untuknya.
Setiap bulan dia memang mendapat bantuan beras raskin dari pemerintah, namun karena tak punya uang untuk membeli lauk atau, Sunarti kerap menjual lagi beras tersebut untuk dibelikan nasi jagung yang harganya jauh lebih murah.
Dia berharap pemerintah setempat memperhatikan kondisi warga miskin di kemarau ini.
(Sindo TV / Mukhtar Bagus / ton)
Warga biasanya mengandalkan penghasilan dari buruh tani, namun sejak kemarau, mereka menganggur karena sawah tidak ditanami padi.
Salah seorang warga yang terpaksa mengonsumsi nasi aking ialah Sunarti (53), warga Kelurahan Kaliwungu, Kecamatan Kota Jombang. Dia mengaku sudah tiga bulan terakhir memakan nasi aking. Setiap pagi, dia menjemur nasi bekas atau nasi basi.
Setelah kering, nasi sisa tersebut akan dimasak lagi oleh Sunarti dan dicampur dengan nasi jagung untuk dimakan bersama suaminya, Joko (59). Joko sendiri hanya terbaring di tempat tidur karena sakit. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Sunartilah yang berperan.
Selama kemarau, Sunarti bekerja sebagai tukang cuci atau bersih-bersih di rumah tetangga. Bila ada nasi di rumah tempat bekerjanya yang lebih, Sunarti membawanya, tentu atas seizing majikan. Nasi itulah yang dia olah kembali menjadi aking.
Sunarti mengaku tidak punya pilihan lain selain memakan aking. Harga beras Rp6.000 atau Rp7.500 per kilogram, terlalu mahal untuknya.
Setiap bulan dia memang mendapat bantuan beras raskin dari pemerintah, namun karena tak punya uang untuk membeli lauk atau, Sunarti kerap menjual lagi beras tersebut untuk dibelikan nasi jagung yang harganya jauh lebih murah.
Dia berharap pemerintah setempat memperhatikan kondisi warga miskin di kemarau ini.
(Sindo TV / Mukhtar Bagus / ton)